Kamis, 03 Maret 2011

Why Do I Want To Be A Doctor?

Suatu ketika, sekumpulan anak-anak ditanya oleh beberapa orang tua, “Kalau sudah besar mau menjadi apa?” Hampir semua jawaban nyaris bisa ditebak. Sebagian besar menjawab, “mau menjadi dokter.” Dengan mantab dan wajah penuh keluguan. Pilihan lainnya adalah pilot, arsitek, guru dan banyak profesi lainnya.

Ada beberapa alasan sederhana ketika mereka menjawab itu, tetapi alasan yang utama adalah keinginan untuk menyelamatkan orang. Alasan lain adalah, stigma masyarakat yang mengatakan bahwa dokter merupakan sosok yang kaya, baik hati maupun materi. Secara hati, dokter merupakan perantara kesembuhan seseorang. Secara materi, kehidupan dokter nyaris tak pernah kekurangan, bahkan berlebih.

Akan tetapi, masyarakat hanya memandang seorang dokter di saat dia telah berhasil. Mereka tidak pernah memedulikan perjalanan panjang menjadi seorang dokter. Jas putih yang kita kenakan tidaklah diraih dengan mudah. Hampir sebagian besar pun ada yang mengalami depresi dalam perjalanannya. Dengan tulisan ini, saya ingin membagi cerita bagaimana akhirnya jas putih ini bisa didapatkan dan perjalanan saya meraihnya. Semoga para pembaca dapat mencernanya dan terima kasih pada phemaw, saya, Theo, diberi kesempatan untuk membagi cerita ini.

Pada suatu hari, seorang dokter senior bertanya kepada saya, “Mengapa kamu mau menjadi dokter?”. Sebuah pertanyaan yang simple, dan saya pun spontan menjawab, “Ingin menyelamatkan nyawa orang.” Mengira dosen saya akan bertanya kembali, “Bener bukan disuruh orang tua?” (sebuah lanjutan pertanyaan yang standard di FK mana pun,hehehehe), saya pun sudah menyiapkan jawaban balasannya. Tapi, apa yang dikatakan dosen saya itu di luar perkiraan. Konsulen saya berkata, “Bukan jawaban yang bagus, saya ga bisa lulusin kamu klo ujian sama saya.” Eing-ing-Eing, sebuah kilat menyambar dalam diri saya. Apa hubungannya pertanyaan sepele itu sama hasil ujian saya? Apa jawabannya kurang dramatis atau kurang jujur. Beliau pun akhirnya menyuruh saya merenungkan jawabannya dan kembali ke dia untuk mengakatakannya. Entah kenapa dia menyuruh saya keliling Rumah Sakit untuk merenungkan jawabannya dan malah memberikan saya bebas tugas.

Aneh banget kan? Sebuah pertanyaan simpel yet sering ditanya bisa bikin saya ga lulus? Bahkan sekarang saya sendiri bingung mau kemana saya mencari jawabannya. Keliling rumah sakit? Ide buruk. Diam merenung? Lebih buruk lagi. Jujur saja, saya pengen serius jadi dokter karena nonton film-film kedokteran kaya ER, Scrubs, House, Greys Anatomy and many more. Saya kagum dan ingin melakukan hal yang sama. Tapi alesannya konyol sekali bukan? Jadi tidak saya ucapkan deh.

Akhirnya saya mencari inspirasi di tempat yang sangat berhubungan dengan nyawa, Instalasi Gawat Darurat atau disingkat IGD. Di sinilah para dokter dan perawat bekerja setiap hari menyalurkan tongkat estafet ke dokter lain untuk menyelamatkan jiwa-jiwa yang terancam. Selain itu, mereka juga memberi kesempatan kedua untuk semua manusia untuk hidup.

Setelah dipikir-pikir, pernyataan saya di atas bagus juga bukan? Pasti bisa menjadi jawaban yang diinginkan dosen saya. Dengan langkah pasti, saya pun kemudian mencari Sang Konsulen hendak memberitahukan hal tersebut pada beliau. Akhirnya seorang perawat bilang, “Oh, dr.X ya? Ada tuh di ruang kelas 2a,” Saya pun langsung mengejar beliau ke sana. Tapi disinilah saya mendapat malu bukan main, kenapa? Mari simak cerita ini. Dari kejauhan, saya melihat beliau ada di ruangan dan dengan langkah pasti, saya pun masuk dan langsung berkata kepada beliau.

“Dok, saya tahu jawabannya!”, teriak saya (dokter dan perawat ruangan melihat)

“Saya ingin menjadi orang yang dapat menyelamatkan jiwa-jiwa yang terancam dan juga memberikan mereka kesempatan kedua untuk hidup!, kembali teriak saya.

Tiba-tiba dr. X bilang, “Sebentar, Dek! Waktu kematiannya 13.05 ya, Bu...tolong dicatat.”

Jeleger-duer-duer. Ternyata saya teriak begitu tanpa meihat ini sedang ada apa dan keluarga pasien pun tepat ada di belakang saya. “Hikshiks, mampuslah gue.” (pikir saya dalam hati). Akhirnya, kata-kata yang bisa saya ucapkan kepada mereka hanyalah, “Semoga diberi kesabaran ya, Pak, Bu.” Dan malunya bukan main. dr. X pun menyuruh saya kembali mencari alasan yang lebih baik lagi. Dem Yo!!

Pemberhentian renungan saya yang kedua tentu saja ICU, PICU, NICU yang tidak kalah pentingnya dengan IGD, hanya saja, saya berpikir, “Kayanya gue bakal dapet alesan yang sama deh kalau di sini.” Saya pun mengurungkan niat dan mencari tempat lain. Apakah ruang OK? Ruang VK? Atau bahkan kamar mayat? Yang jelas saat itu saya pun dirundung oleh kebingungan (mana hujan lagi waktu itu, suasananya mendukung banget.

Saat itulah saya melihat dokter favorit saya sedang berjalan sendirian di koridor Rumah Sakit dan spontanitas saya adalah mengikuti beliau, siapa tahu mendapatkan jawaban yang bagus. Saya pun mulai menyapa dan meminta izin kepada beliau untuk ikut visite pasien. Beliau pun mengizinkan dan menerima saya sambil senyum. ( what an angel J )

Ketika mengikuti beliau, saya melihat bagaimana pasien merasa nyaman berbicara dengan beliau, bagaimana mereka bisa terbuka menceritakan semua keluhan tanpa malu-malu. Mungkin pola komunikasi GATHER (yang sudah dibahas di bawah ya di cerita sebelumnya) benar-benar sudah beliau kuasai dan bisa bahu-membahu membantu dan mengobati bersama pasien. “Hmmm....tunggu...sepertinya lampu kepala gue nyala lagi nih.” (begitu pikirku dalam hati). Pasti itu alasan yang cukup bagus untuk dikemukakan.

Saya pun kembali mencari dr.X yang katanya sedang menguji salah seorang teman saya yang masuk ke bagian penyakit dalam ini lebih dulu. Konon kata perawat, dr.X memang suka tanya alesan jadi dokter di akhir ujian, entah apa maksudnya. ByTheWay, teman saya ini cukup pintar, tetapi dia masuk kedokteran karena disuruh orang tuanya. Kira-kira apa jawabannya ya? Saya pun menguping dan benar saja, dr.X pun menanyakan hal yang sama di akhir, dan “Guess what”, jawaban teman saya hanya, “Saya disuruh orang tua, dan setelah saya jalanin, menyenangkan, Dok, makanya saya mau jadi dokter.” Dan dr. X pun menjawab, “Yap, Great answer! Kamu lulus!”. Saya pun bingung dan merasa jawaban yang saya buat sangat konyol.

Akhirnya saya pun kembali merenung, dan di akhir hari itu saya pun dipanggil dr. X untuk memberikan jawabannya. Dengan sedikit ragu dengan jawaban saya yang ada, akhirnya ruangan beliau pun saya masuki.

“Jadi, Teho? Theo kan? Apa jawaban kamu?”, tanya beliau

“Euumphh...saya...jadi dokter....karena...,” entah kenapa suara saya berhenti, bingung mo bicara apa kaya ada corpus alienum menutupi pita suara dan saya udh kaya kepiting rebus penuh keringat. L

“Ayo, jadi apa jawabannya?” kata beliau sambil tersenyum

“Yah, Dok, saya tidak tahu lagi jawabannya, Dok....”

“Semula saya jadi dokter karena kagum dengan film-film kedokteran yang merupakan hal paling konyol jadi alesan, Dok,”

“Selanjutnya saya juga berpikir ingin bisa memberikan kesempatan kedua untuk pasien-pasien agar dapat hidup,”

“Selain itu saya juga ingin bisa bahu-membahu dengan pasien agar dapat mencapai pengobatan yang terbaik untuk mereka.”

“Tapi sekarang saya sendiri bingung, mana jawaban yang terbaik, Dok.”

Sebuah senyum terlempar dari dr.X dan berkata, “Bukannya itu semua yang kamu mau? Yang menjadikan kamu seperti sekarang ini?” Dan entah kenapa itu menjadi jawaban di kepala saya. Saya ingin menjadi dokter karena semua hal yang ada di atas, semua hal itulah yang membuat saya menjadi dokter seperti sekarang ini. Dr.X pun kemudian tersenyum lagi dan ninggalin saya di ruangan sambil menepuk bahu saya, dan dari sanalah saya yakin itu jawaban yang terbaik.

Akhir kata, menurut saya, dalam alasan menjadi dokter, tidak ada jawaban yang lebih baik atau yang lebih buruk. Mengapa? Karena semua itulah yang nantinya akan membina kita menjadi dokter yang seperti apa dan hal tersebutlah yang kemudian harus kita ajarkan ke adik-adik kita. Sejak saat itu, saya pun sangat mengagumi dr.X dan filsafahnya mengenai penting alasan kita menjadi seorang dokter.

Kira-kira itulah cerita saya, semoga kalian menikmatinya (maaf saya kurang pandai bercerita) dan jangan lupa kirimkan cerita menarik kalian ke phemaw.adit@gmail.com untuk dimasukkan dalam blog ini. Mari saling berbagi cerita dan pengalaman kita kepada orang lain dan memberi tahu khalayak ramai mengenai apa yang membuat kita menjadi dokter. Ciaaoo...