Kamis, 03 Maret 2011

Why Do I Want To Be A Doctor?

Suatu ketika, sekumpulan anak-anak ditanya oleh beberapa orang tua, “Kalau sudah besar mau menjadi apa?” Hampir semua jawaban nyaris bisa ditebak. Sebagian besar menjawab, “mau menjadi dokter.” Dengan mantab dan wajah penuh keluguan. Pilihan lainnya adalah pilot, arsitek, guru dan banyak profesi lainnya.

Ada beberapa alasan sederhana ketika mereka menjawab itu, tetapi alasan yang utama adalah keinginan untuk menyelamatkan orang. Alasan lain adalah, stigma masyarakat yang mengatakan bahwa dokter merupakan sosok yang kaya, baik hati maupun materi. Secara hati, dokter merupakan perantara kesembuhan seseorang. Secara materi, kehidupan dokter nyaris tak pernah kekurangan, bahkan berlebih.

Akan tetapi, masyarakat hanya memandang seorang dokter di saat dia telah berhasil. Mereka tidak pernah memedulikan perjalanan panjang menjadi seorang dokter. Jas putih yang kita kenakan tidaklah diraih dengan mudah. Hampir sebagian besar pun ada yang mengalami depresi dalam perjalanannya. Dengan tulisan ini, saya ingin membagi cerita bagaimana akhirnya jas putih ini bisa didapatkan dan perjalanan saya meraihnya. Semoga para pembaca dapat mencernanya dan terima kasih pada phemaw, saya, Theo, diberi kesempatan untuk membagi cerita ini.

Pada suatu hari, seorang dokter senior bertanya kepada saya, “Mengapa kamu mau menjadi dokter?”. Sebuah pertanyaan yang simple, dan saya pun spontan menjawab, “Ingin menyelamatkan nyawa orang.” Mengira dosen saya akan bertanya kembali, “Bener bukan disuruh orang tua?” (sebuah lanjutan pertanyaan yang standard di FK mana pun,hehehehe), saya pun sudah menyiapkan jawaban balasannya. Tapi, apa yang dikatakan dosen saya itu di luar perkiraan. Konsulen saya berkata, “Bukan jawaban yang bagus, saya ga bisa lulusin kamu klo ujian sama saya.” Eing-ing-Eing, sebuah kilat menyambar dalam diri saya. Apa hubungannya pertanyaan sepele itu sama hasil ujian saya? Apa jawabannya kurang dramatis atau kurang jujur. Beliau pun akhirnya menyuruh saya merenungkan jawabannya dan kembali ke dia untuk mengakatakannya. Entah kenapa dia menyuruh saya keliling Rumah Sakit untuk merenungkan jawabannya dan malah memberikan saya bebas tugas.

Aneh banget kan? Sebuah pertanyaan simpel yet sering ditanya bisa bikin saya ga lulus? Bahkan sekarang saya sendiri bingung mau kemana saya mencari jawabannya. Keliling rumah sakit? Ide buruk. Diam merenung? Lebih buruk lagi. Jujur saja, saya pengen serius jadi dokter karena nonton film-film kedokteran kaya ER, Scrubs, House, Greys Anatomy and many more. Saya kagum dan ingin melakukan hal yang sama. Tapi alesannya konyol sekali bukan? Jadi tidak saya ucapkan deh.

Akhirnya saya mencari inspirasi di tempat yang sangat berhubungan dengan nyawa, Instalasi Gawat Darurat atau disingkat IGD. Di sinilah para dokter dan perawat bekerja setiap hari menyalurkan tongkat estafet ke dokter lain untuk menyelamatkan jiwa-jiwa yang terancam. Selain itu, mereka juga memberi kesempatan kedua untuk semua manusia untuk hidup.

Setelah dipikir-pikir, pernyataan saya di atas bagus juga bukan? Pasti bisa menjadi jawaban yang diinginkan dosen saya. Dengan langkah pasti, saya pun kemudian mencari Sang Konsulen hendak memberitahukan hal tersebut pada beliau. Akhirnya seorang perawat bilang, “Oh, dr.X ya? Ada tuh di ruang kelas 2a,” Saya pun langsung mengejar beliau ke sana. Tapi disinilah saya mendapat malu bukan main, kenapa? Mari simak cerita ini. Dari kejauhan, saya melihat beliau ada di ruangan dan dengan langkah pasti, saya pun masuk dan langsung berkata kepada beliau.

“Dok, saya tahu jawabannya!”, teriak saya (dokter dan perawat ruangan melihat)

“Saya ingin menjadi orang yang dapat menyelamatkan jiwa-jiwa yang terancam dan juga memberikan mereka kesempatan kedua untuk hidup!, kembali teriak saya.

Tiba-tiba dr. X bilang, “Sebentar, Dek! Waktu kematiannya 13.05 ya, Bu...tolong dicatat.”

Jeleger-duer-duer. Ternyata saya teriak begitu tanpa meihat ini sedang ada apa dan keluarga pasien pun tepat ada di belakang saya. “Hikshiks, mampuslah gue.” (pikir saya dalam hati). Akhirnya, kata-kata yang bisa saya ucapkan kepada mereka hanyalah, “Semoga diberi kesabaran ya, Pak, Bu.” Dan malunya bukan main. dr. X pun menyuruh saya kembali mencari alasan yang lebih baik lagi. Dem Yo!!

Pemberhentian renungan saya yang kedua tentu saja ICU, PICU, NICU yang tidak kalah pentingnya dengan IGD, hanya saja, saya berpikir, “Kayanya gue bakal dapet alesan yang sama deh kalau di sini.” Saya pun mengurungkan niat dan mencari tempat lain. Apakah ruang OK? Ruang VK? Atau bahkan kamar mayat? Yang jelas saat itu saya pun dirundung oleh kebingungan (mana hujan lagi waktu itu, suasananya mendukung banget.

Saat itulah saya melihat dokter favorit saya sedang berjalan sendirian di koridor Rumah Sakit dan spontanitas saya adalah mengikuti beliau, siapa tahu mendapatkan jawaban yang bagus. Saya pun mulai menyapa dan meminta izin kepada beliau untuk ikut visite pasien. Beliau pun mengizinkan dan menerima saya sambil senyum. ( what an angel J )

Ketika mengikuti beliau, saya melihat bagaimana pasien merasa nyaman berbicara dengan beliau, bagaimana mereka bisa terbuka menceritakan semua keluhan tanpa malu-malu. Mungkin pola komunikasi GATHER (yang sudah dibahas di bawah ya di cerita sebelumnya) benar-benar sudah beliau kuasai dan bisa bahu-membahu membantu dan mengobati bersama pasien. “Hmmm....tunggu...sepertinya lampu kepala gue nyala lagi nih.” (begitu pikirku dalam hati). Pasti itu alasan yang cukup bagus untuk dikemukakan.

Saya pun kembali mencari dr.X yang katanya sedang menguji salah seorang teman saya yang masuk ke bagian penyakit dalam ini lebih dulu. Konon kata perawat, dr.X memang suka tanya alesan jadi dokter di akhir ujian, entah apa maksudnya. ByTheWay, teman saya ini cukup pintar, tetapi dia masuk kedokteran karena disuruh orang tuanya. Kira-kira apa jawabannya ya? Saya pun menguping dan benar saja, dr.X pun menanyakan hal yang sama di akhir, dan “Guess what”, jawaban teman saya hanya, “Saya disuruh orang tua, dan setelah saya jalanin, menyenangkan, Dok, makanya saya mau jadi dokter.” Dan dr. X pun menjawab, “Yap, Great answer! Kamu lulus!”. Saya pun bingung dan merasa jawaban yang saya buat sangat konyol.

Akhirnya saya pun kembali merenung, dan di akhir hari itu saya pun dipanggil dr. X untuk memberikan jawabannya. Dengan sedikit ragu dengan jawaban saya yang ada, akhirnya ruangan beliau pun saya masuki.

“Jadi, Teho? Theo kan? Apa jawaban kamu?”, tanya beliau

“Euumphh...saya...jadi dokter....karena...,” entah kenapa suara saya berhenti, bingung mo bicara apa kaya ada corpus alienum menutupi pita suara dan saya udh kaya kepiting rebus penuh keringat. L

“Ayo, jadi apa jawabannya?” kata beliau sambil tersenyum

“Yah, Dok, saya tidak tahu lagi jawabannya, Dok....”

“Semula saya jadi dokter karena kagum dengan film-film kedokteran yang merupakan hal paling konyol jadi alesan, Dok,”

“Selanjutnya saya juga berpikir ingin bisa memberikan kesempatan kedua untuk pasien-pasien agar dapat hidup,”

“Selain itu saya juga ingin bisa bahu-membahu dengan pasien agar dapat mencapai pengobatan yang terbaik untuk mereka.”

“Tapi sekarang saya sendiri bingung, mana jawaban yang terbaik, Dok.”

Sebuah senyum terlempar dari dr.X dan berkata, “Bukannya itu semua yang kamu mau? Yang menjadikan kamu seperti sekarang ini?” Dan entah kenapa itu menjadi jawaban di kepala saya. Saya ingin menjadi dokter karena semua hal yang ada di atas, semua hal itulah yang membuat saya menjadi dokter seperti sekarang ini. Dr.X pun kemudian tersenyum lagi dan ninggalin saya di ruangan sambil menepuk bahu saya, dan dari sanalah saya yakin itu jawaban yang terbaik.

Akhir kata, menurut saya, dalam alasan menjadi dokter, tidak ada jawaban yang lebih baik atau yang lebih buruk. Mengapa? Karena semua itulah yang nantinya akan membina kita menjadi dokter yang seperti apa dan hal tersebutlah yang kemudian harus kita ajarkan ke adik-adik kita. Sejak saat itu, saya pun sangat mengagumi dr.X dan filsafahnya mengenai penting alasan kita menjadi seorang dokter.

Kira-kira itulah cerita saya, semoga kalian menikmatinya (maaf saya kurang pandai bercerita) dan jangan lupa kirimkan cerita menarik kalian ke phemaw.adit@gmail.com untuk dimasukkan dalam blog ini. Mari saling berbagi cerita dan pengalaman kita kepada orang lain dan memberi tahu khalayak ramai mengenai apa yang membuat kita menjadi dokter. Ciaaoo...

Sabtu, 26 Februari 2011

Communication, Emphaty and Me as a Patient

Hai, Phemaw, dan hai semuanya! Saya adalah seorang Koass perempuan yang sebut saja Bunga (nama standard dan bukan nama sebenarnya-red). Sekarang saya ingin sekali bercerita mengenai pengalaman saya menjadi seorang pasien saat menjalani koassistensi di Rumah Sakit pendidikan kami. Jujur saja, saat itu saya dirawat di kelas 2b sehingga masih bisa diperiksa oleh teman-teman saya sendiri dan di sanalah pengalaman saya dimulai dan membuat saya dapat mengintrospeksi diri.

Selama menjalani kepanitraan, kita pasti sering menemui berbagai macam pasien yang berbeda dari tingkat pendidikan, budaya, dan sosioekonomi. Bayangkan ke tiga hal tersebut selalu mempengaruhi kita dalam memeriksa pasien, contohnya :

Percakapan pada pasien dengan tingkat pendidikan, budaya dan sosioekonomi menengah ke atas.
"Permisi, Pak/Bu/Mas/Neng, apa keluhannya?"
"Oh, Appendicitis, mas Koass...Soalnya sakitnya di kanan bawah, saya harus segera dioperasi ya! Soalnya sakiiiit banget! Kalau di sini bisa ga luka operasinya kecil aja? Soalnya di Rumah Sakit X bisa lho.", kata si pasien.
"Hmm....oke coba saya periksa dulu ya.", kata saya dengan terkagum-kagum akan pengetahuan pasien.
"Waduh, maaf ya, No offence, tapi saya mo diperiksa dokter asli aja ya, ga mau Koass kan pengalamannya masih kurang tuh.", jawab si pasien polos (pasien seperti ini memang ada dan live with it, okay?)

Gambaran saya dari percakapan di atas adalah mereka cenderung sombong, tidak menghargai kita dan berusaha mencari penyakit mereka sendiri. Tapi namanya juga Koass, pengalaman kita emang masih kurang.

Sedangkan pada dengan pasien dengan tingkat pendidikan, budaya, dan sosioekonomi menengah ke bawah.
"Punten, Pak/Bu/Mas/Neng, apa keluhannya?", tanyaku sopan
"Ini, Dok, sejak malem tuh rasanya ada sakit di ulu hati saya. Kira-kira kenapa ya, Dok? Sakit maag gitu?", tanya si pasien
"Wah, Saya harus periksa dulu ya, biar pasti, nanti saya konsulkan ke dokter pembimbing saya untuk penanganan lebih lanjut.", kataku santai
"Oh, silahkan, Dok...Terima kasih.", jawab pasien

Gambaran dari percakapan di atas adalah mereka mau menghargai kita dan tidak sombong, tetapi pengetahuan mereka tentang penyakit termasuk kurang, jadi kita harus memberikan penjelasan lebih lanjut agar mereka mengerti. (Jujur saya lebih senang memeriksa pasien seperti ini karena bisa menambah pengalaman)

Dalam dunia kedokteran, komunikasi adalah hal penting dalam membina hubungan yang baik dengan pasien. Komunikasi dimaksudkan untuk membagi pengetahuan dan pengalaman kepada orang lain. Bahkan di masyratakat kontemporer saat ini ada asumsi "who can run information, they can run the world" atau "Information is power". Terbukti sudah jika manusia sebagai makhluk sosial memerlukan komunikasi sebagai senjatanya untuk masuk ke kalangan tertentu atau menyerap informasi.

Dalam dunia kedokteran, proses komunikasi dengan pasien dapat digambarkan dengan singkatan GATHER, yaitu :
G-greet/ memberi salam kepada pasien dengan bersahabat
A-ask/ tanyakan kepada pasien mengenai keluhan dan penyakitnya
T-tell/ berikan informasi kepada pasien mengenai penyakitnya
H-help/ bantu pasien dalam memilih pengobatan yang terbaik
E-explain/ jelaskan bagaimana metode pengobatan tersebut hingga pasien mengerti, dan
R-return/ meminta pasien kembali untuk follow-up

Komunikasi di rumah sakit harus didasarkan dengan rasa profesionalitas dan empati. Empati sendiri diartikan sebagai mengerti dan peduli kepada kesulitan yang dialami orang lain (dalam hal ini adalah pasien). Suatu komunikasi yang baik kepada pasien merupakan basis dari yang kita sebut medical ethics dan pusat dari pelatihan kedokteran saat ini.

Sejujurnya, saya sendiri saat menjalani proses kepanitraan itu tidak mengerti dengan jelas apa itu empati, cenderung menyepelekan malah. Hari itu semua berubah, saat itu saya sedang menjalani kepanitraan di bagian THT dan mendadak merasakan nyeri di perut kanan bawah saya, saking nyerinya saya sampai pucat dan kehilangan kesadaran (malu sebenernya cerita ini). teman-teman saya pun kemudian panik dan langsung menggotong saya ke IGD dan diperiksa oleh dokter jaga IGD. Saya pun didiagnosis sebagai Appendicitis acuta dan dirawat di bangsal kelas 2b. Saya pun kemudian dirawat tim oleh dokter spesialis bedah dan spesialis penyakit dalam untuk diobservasi terlebih dahulu karena appendicitisnya belum begitu berat.

Pagi hari di kemudian hari, Dokter spesialis penyakit dalam melakukan visite keliling membawa junior-junior yang baru masuk ke stase penyakit dalam untuk melakukan follow-up. Jujur saja, sekarang saya mengerti lho nasib patung pajangan di museum yang tidak bisa bergerak apalagi berbicara dan sekarang saya sedang mengalaminya. (pernah nonton Scrubs? J.D juga menggambarkan bagaimana rasanya jadi pasien di sana, hihihi)

Dokter spesialis penyakit dalam ini kita sebut saja Diana (bukan nama sebenarnya ya), beliau sangat perhatian kepada semua pasiennya dan tidak pernah bosan visite hingga malam hari. Beliau biasanya datang jam 4-5 pagi dan baru pulang sekitar jam 9 malam. Sangat pintar dalam membina hubungan dengan pasiennya dan berkomunikasi. Saya pun merasa aman, dan tenang ditangani oleh beliau.

Sebaliknya, dokter spesialis bedah yang menangani saya, kita sebut saja dr.Tio adalah seorang yang cukup berumur dan hanya tidak menjelaskan kepada pasien dengan jelas mengenai penyakitnya. Jika dibuat survey di rumah sakit, mungkin 8 dari 10 merasa tidak puas dengan penjelasannya dan 2 sisanya tidak mengerti. Dalam perasaan beliau yang ada mungkin hanya kata "operasi". Tapi untungnya memang selalu ada indikasi, dan mungkin inilah yang disebut kurang berempati.

Hari operasi pun semakin dekat, perasaan dag-dig-dug-duer-duer memenuhi perasaan saya, karena takut dan khawatir. Apalagi, dr. Tio datang dan berkata bahwa operasi saya akan ditangani oleh residen bedahnya untuk menambah pengalaman. Saya mau tidak mau menjawab "iya" karena tidak mendapatkan penjelasan jelas dan tidak berani melawan. Tapi malam hari sebelum operasi semuanya berubah, saat dr. Tio dan residennya melakukan visite, saya pun berteriak, begini :

"DOK!!!!TOLONG, DOK, SAYA MAU SAMA DOKTER AJA DIOPERASINYA!!!!", Oke ga selebay itu tetapi memang saya sedikit berteriak. (terutama dalam hati)

Dr. Tio dan residennya pun kemudian memandangi saya dengan heran, dan rasanya seperti di meja introgasi polisi.

"Oke, Gak masalah ko...kamu takut ya?," Kata dr.Tio
"Eh...Eumm...anu, Dok," jawabku malu
"Gak apa-apa, pasien berhak memilih siapa dokter pelaksananya ko, itu hak pasien, " jawabnya
"Wajar ko kalau kamu takut," sambung beliau menenangkan hati
"Eh, iya, Dok, makasih.."
"Oke, sampe ketemu besok di ruang operasi ya, " kata beliau sambil tersenyum

Hal yang paling tidak bisa saya lupakan adalah bagaimana residen itu memandang saya dengan perasaan kesal. mungkin menurutnya dia sudah menunggu-nunggu untuk mencari pengalaman tetapi pasiennya menolak. Mungkin itulah yang disebut tidak berempati, tidak peduli dengan keinginan pasien tetapi lebih memikirkan pengalaman yang ingin didapatkan.

Hari operasi pun tiba. Dr. Tio menjadi dokter penanggung jawab operasi saya dan luar biasa, di sana dr.Tio begitu perhatian pada saya baik sebelum, saat (anestesi lokal-red, jadi saya sadar), dan sesudah operasi. Para perawat ruang operasi (OK) juga bilang bahwa dr. Tio adalah tipe dokter yang perhatian pada pasiennya. Ternyata beliau selama ini hanya menjelaskan sedikit karena pasien beliau sangat banyak baik di rumah sakit ini dan rumah sakit lain dan tidak ingin melewatkan satu pasien pun.

Dari pengalaman itu, akhirnya saya mengerti apa itu yang namanya komunikasi yang bagus dan empati kepada pasien. Sejak saat itu pun saya mulai belajar dengan baik apa yang namanya empati dan hubungan pasien dengan dokter, karena para pembaca, itulah yang membantu kita dalam bekerja.

PS : Pasien juga adalah manusia, mereka bisa takut atau khawatir akan tindakan yang akan kita lakukan baik setelah mendengar penjelasan dengan jelas atau tidak. Tugas kitalah yang seharusnya menenangkannya dan memberi dukungan kepadanya agar menjadi kuat.

"Whoever the patient, is our duty to give the best to them"

Kiranya itu kisah dan pengalaman saya di rumah sakit, jadi bagaimana cerita kalian? Jangan lupa untuk mengirimkannya ke phemaw.adit@gmail.com agar bisa dipublikasikan ke dalam blog ini dan kita dapat saling berbagi cerita. Thanks buat phemaw yang sudah menyediakan tempat untuk bercerita ini, dan semoga blog ini sukses. Sampai jumpa lagi dicerita selanjutnya.

My Very First Day in Surgical Department

Yes!This is It! (dengan gaya Farrah Quinn memamerkan makanan yang sudah jadi) Inilah stase yang kami tunggu-tunggu. Stase yang dikatakan paling “sacral” diantara semua bagian yang telah kami lewati, bukan karena berhubungan dengan hal-hal ghaib, mistis atau pamali apalagi hantu (sama aja ya) tapi lebih ke arah suatu bagian yang di Fakultas Kedokteran mana pun dikatakan sebagai bagian yang paling sulit dilewati.

Biasanya setiap hari aku selalu terbangun dengan segar dan puas (bahkan saat di bagian OB-GYN sekalipun), tetapi pagi itu aku tidak tidur sama sekali, entah karena terlalu bergembira, atau ada perasaan tegang karena akan masuk bagian bedah dan takut terlambat dan juga aku belum selesai menulis buku tugas,hehehehe. (tapi jujur aja, saya menikmati kok)

Menjadi Koass bedah bagi sebagian orang bisa diibaratkan sebagai masuk ke dunia lain. Kenapa? Karena di sini waktu itu hampir tidak terasa sekali. Terkadang kita harus pergi dari rumah sebelum matahari terbit dan pulang saat matahari sudah tidak tampak lagi. Pagi kita datang dengan kisaran waktu jam 3-4 pagi untuk “sweeping” pasien di semua ruangan yang ada di rumah sakit (tugas sebagai junior), sedangkan untuk pulangnya kami sering sesudah matahari terbenam karena di bagian bedah kami, harus kembali “sweeping” pasien untuk dilaporkan kepada Boss besar kami di bedah dan juga mengerjakan pertanyaan-pertanyaan yang beliau berikan ke buku hijau kami (buku penuh ilmu dan kenangan yang sangat berguna menurutku).

Boss? Yes it is. Di Bagian kami ini, ada seorang dokter senior yet veteran yang sudah sangat terkenal bahkan saat kakakku juga masuk bagian ini. Beliau menurut aku adalah sesosok figure dokter pengajar yang patut ditiru oleh dokter-dokter yang ada. Keras, tetapi bermotivasi mengajar dengan sunggu-sungguh bukan demi saat kami di bedah tapi juga untuk masa depan kami. Selain itu, beliau sebenarnya baik dan lucu lho. Beliau memang sering “merepotkan” kami dengan tugas-tugas yang banyak dan pertanyaan-pertanyaan yang sering kali dicorat-coret, tetapi seperti pepatah “Singa menjatuhkan anaknya ke jurang agar menjadi kuat”. Mungkin seperti itulah figure beliau bagi aku.

Anyway, kembali lagi ke kehidupan aku dan teman-teman saya di bedah. Mungkin jika digambarkan, inilah penampilan kami sebagai koass bedah :

  1. Rambut berantakan, jarang sisir apalagi cuci (bahkan samapai di daerah manapun juga)
  2. Jarang pake parfum apalagi mandi (biasanya abis jaga)
  3. Muka ga jauh kaya Panda, terutama matanya item :p
Kira-kira begitulah gambaran penampilan kami di bagian ini. Believe it or not, tapi entah kenapa di sini motivasi kami bisa muncul, mungkin karena dibimbing oleh dokter-dokter veteran yang mengajar penuh semangat tanpa mengenal lelah. Ada seorang dokter yang juga menjadi panutan saya, beliau sebenarnya adalah seorang dokter umum yang bertugas membimbing dan memotivasi kami para Koass di bagian bedah dan beliau pun sudah cukup berumur dinilai dari inspeksi sekilas. Beliau tanpa lelah membantu, mengarahkan dan membela kami semua para KOASS (Kumpulan Orang Serba Salah) ini. (maaf dan terima kasih ya, Dok, I'm really appreciate it)

Okay, back in action. Hal yang luar biasa bagi aku pribadi adalah hari pertama di bagian bedah ini, dimana terasa bagai sudah melewati stase bedah selama 1 minggu (it's true 2x). Mungkin tidak heran bahwa di semua bagian Mayor, hari ke-1 hingga minggu pertama adalah hari-hari paling berat untuk dilewati. Kita di sini dituntut untuk beradaptasi dan belajar untuk sudah bisa dalam menangani kasus-kasus yang ada.

Hari itu, kami semua datang pukul 1/2 4 pagi untuk sweeping pasien ke seluruh ruangan. Tiap orang dari kami dibagi kebeberapa ruangan dan tempat, aku waktu itu dapat di ICU, PICU, NICU. Pikirku, beruntung sekali mendapatkan tiga tempat itu, karena itu ada dalam 1 lantai dan jarang sekali pasien anak-anak atau balita yang masuk intensive care. Tapi ternyata aku salah. Mungkin benar adanya pasien di sini sedikit, tapi ternyata Rekam Medis mereka sungguh tebal-tebal (mungkin setebal dorland), sampai aku cape buat nulis semua status untuk dilaporkan dan ironisnya lagi, semua memiliki foto rontgen entah itu kepala, badan bahkan sampai ekstremitas sekalipun. Pasien anak-anak yang masuk pun tidak kalah hebatnya, ada yang bekas terkena Combustio (luka bakar-red) sampai yang mengarah ke diagnosis NEC (Necrotizing Enterocolitis). Waktu itu aku menghabiskan waktu hampir 2,5 jam untuk menulis semua status (T_T).

Hal yang paling ironis adalah ketika teman aku (saat itu menjadi senior di bedah karena masuk lebih dulu) mengirim bbm berisikan :

"Maw, klo pasien-pasien di ICU, PICU, NICU klo pindahan ga usah dilaporin"
"Kebanyakan pindahan dari ruangan ko"
"Kecuali yang baru masuk ya."
"PING!!!"
"Tes?Tis?Maw"

Alasan aku ga membalas bukan karena sibuk mencatat, tetapi lebih ke SHOCK karena sudah selesai menulis semua status untuk dilaporkan dan mau membawa semua foto rontgen (yang dari 1 pasien saja ada 2-3) ke Morning Report. Bisa dibayangkan sisi jahat aku sedang tertawa karena sebelumnya nyuruh jangan tulis semua pasien yang masuk ke sana. Tapi untunglah Morning Report pertama kami berakhir dengan baik.

Selanjutnya, kehidupan kami pun berlanjut ke preceptor (konsulen-red) yang akan membimbing kami selama 1 minggu ini. Kami mendapat seorang perceptor dokter bedah yang masih terhitung muda (walau sudah senior juga sih), Unique-nya dosen kami ini adalah beliau SANGAT AMAT PINTAR SEKALI!!! Hal pertama yang beliau ajarkan (dan selalu diajarkan) adalah memasukkan logika pada teori yang telah kami pelajari. Tapi, sayangnya logika kami tidak bisa mencapai logika beliau (maaf ya, Dok). Hal kedua adalah persamaan yang hampir dimiliki oleh semua dosen di bagian mana pun, yaitu JALANNYA CEPAT (entah kenapa aku selalu merasa apa dosen-dosen itu memakai sepatu yang ada rodanya di telapak kaki?).

Hal yang paling aku senangi dari dosen kami ini adalah, selain mengajarkan teori kedokteran pada kami, beliau juga seringkali memberikan ceramah-ceramah rohani yang tidak menyudutkan salah satu agama serta pentingnya hubungan pasien dan dokter yang kita sebut sebagai Informed Consent. Sejujurnya, saat kelak mejadi dokter, aku ingin sekali mencontoh beliau dan saat itu langsung menjadikan beliau sebagai public figure buat diri sendiri.

Hari pun mulai berpindah dari matahari di atas kepala mulai mengarah ke barat, tanda hari menjelang sore. bagi kami pun, itu adalah tanda saatnya kami berjaga malam dan untuk Koass bedah, lokasi jaga malam adalah di Instalasi Gawat Darurat. Sebelumnya kami pun harus sweeping kembali ke seluruh ruangan untuk melaporkan pasien-pasien yang ada pada Boss kami yang Awesome itu (I really meant it, people, he's Awesome). gambaran pertama jaga IGD bagi kebanyakan orang adalah ruang berbentuk persegi panjang berukuran cukup besar untuk menampung beberapa pasien dan diisi oleh para Dokter jaga IGD, Perawat IGD dan para Koass jaga malam. Disinilah kami bahu-membahu menyelamatkan nyawa pasien yang datang (walau kebanyakan tidak berbahaya dan rawat jalan sih, hehehehe)

Malam itu, entah kenapa tercampur perasaan exciting dan menegangkan (padahal di IPD, udah pernah). Saat itu kami menunggu di counter jaga, berharap mendapatkan pasien untuk kami mempertajam diagnosis dan tindakan-tindakan yang sudah kami latih seperti Membersihkan luka, Menjahit, atau memasang IV-line dan kateter urine. Tetapi saat itu, jauh dari harapan kami, entah kenapa pasien yang masuk lebih ke penyakit dalam dan pasien anak. Kasus bedah yang kami dapatkan hanya berkisar (dari yang paling sering) Jatuh dari motor, Jatuh dari tangga, dan keJatuhan sesuatu (semuanya berhubungan dengan JATUH) dan kami hanya perlu membersihkan lukanya serta menyuntik vaksin tetanus sebagai prosedur tetap.

Sejujurnya perasaan kecewa ada dalam diri kami, tapi tidak kurang juga perasaan bersyukur karena tidak perlu memeriksa pasien yang berhubungan dengan nyawa. Suasana pun kami anggap tenang hingga pukul 9 malam sampai salah seorang teman kami berkata hal yang tabu dikatakan di IGD (dan juga forensik) yaitu

"Aduuuh, Boseeeen ya ga ada pasien!!!! Seneng kalau IGD sepi begini,hehehehe" (yang diwarnai adalah kata tabu)

Beberapa saat setelah kata itu terkumandang, Voilla!!! Terjadi sebuah kecelakaan di Taman kota dekat Rumah Sakit kami berada ini. Sebuah angkot terguling saat sedang berbelok dengan kecepatan cukup tinggi. Pasien yang datang ada yang mulai dari luka lecet hingga luka robek dan semua penumpang (supirnya juga) dibawa ke rumah sakit kami. belum cukup arus pertama datang, arus kedua pun hadir menerpa. Sebuah motor tertabrak mobil dan pasien mendapati multiple fracture di beberapa tempat bahkan ada yang merupakan open fracture. Arus pasien pun kemudian menerpa tiada henti bagaikan suatu hukuman Tuhan kepada kami yang berleha-leha di IGD ini (maaf, lebay dikit) hingga akhirnya jam pun menunjukkan pukul 3 pagi keesokan harinya.

Entah apakah harus senang karena arus pasien berhenti atau sedih karena sudah berganti hari dan kami belum tidur sama sekali, yang jelas kami sudah harus memulai rutinitas kami kembali seperti awal hari ini hingga sore menjelang dan kami baru boleh pulang. Kira-kira itulah gambaran hari pertama kami di bedah dan aku pun menikmatinya walau cape,hehehe.

Masa Koass memang paling berat, tapi disanalah banyak kenangan tak tergantikan yang bisa kita dapat. Jangan segan-segan kirim cerita-cerita menarik kalian di Rumah Sakit baik hal-hal lucu, romantis atau bahkan cerita hantu sekalipun ke phemaw.adit@gmail.com. Cerita yang dikirim akan diedit sesuai keperluan agar tidak merugikan orang-orang tertentu.

So...that's my story...how about you?
(maaf dr.Ferdiriva, pinjem kata-katanya)