Sabtu, 26 Februari 2011

Communication, Emphaty and Me as a Patient

Hai, Phemaw, dan hai semuanya! Saya adalah seorang Koass perempuan yang sebut saja Bunga (nama standard dan bukan nama sebenarnya-red). Sekarang saya ingin sekali bercerita mengenai pengalaman saya menjadi seorang pasien saat menjalani koassistensi di Rumah Sakit pendidikan kami. Jujur saja, saat itu saya dirawat di kelas 2b sehingga masih bisa diperiksa oleh teman-teman saya sendiri dan di sanalah pengalaman saya dimulai dan membuat saya dapat mengintrospeksi diri.

Selama menjalani kepanitraan, kita pasti sering menemui berbagai macam pasien yang berbeda dari tingkat pendidikan, budaya, dan sosioekonomi. Bayangkan ke tiga hal tersebut selalu mempengaruhi kita dalam memeriksa pasien, contohnya :

Percakapan pada pasien dengan tingkat pendidikan, budaya dan sosioekonomi menengah ke atas.
"Permisi, Pak/Bu/Mas/Neng, apa keluhannya?"
"Oh, Appendicitis, mas Koass...Soalnya sakitnya di kanan bawah, saya harus segera dioperasi ya! Soalnya sakiiiit banget! Kalau di sini bisa ga luka operasinya kecil aja? Soalnya di Rumah Sakit X bisa lho.", kata si pasien.
"Hmm....oke coba saya periksa dulu ya.", kata saya dengan terkagum-kagum akan pengetahuan pasien.
"Waduh, maaf ya, No offence, tapi saya mo diperiksa dokter asli aja ya, ga mau Koass kan pengalamannya masih kurang tuh.", jawab si pasien polos (pasien seperti ini memang ada dan live with it, okay?)

Gambaran saya dari percakapan di atas adalah mereka cenderung sombong, tidak menghargai kita dan berusaha mencari penyakit mereka sendiri. Tapi namanya juga Koass, pengalaman kita emang masih kurang.

Sedangkan pada dengan pasien dengan tingkat pendidikan, budaya, dan sosioekonomi menengah ke bawah.
"Punten, Pak/Bu/Mas/Neng, apa keluhannya?", tanyaku sopan
"Ini, Dok, sejak malem tuh rasanya ada sakit di ulu hati saya. Kira-kira kenapa ya, Dok? Sakit maag gitu?", tanya si pasien
"Wah, Saya harus periksa dulu ya, biar pasti, nanti saya konsulkan ke dokter pembimbing saya untuk penanganan lebih lanjut.", kataku santai
"Oh, silahkan, Dok...Terima kasih.", jawab pasien

Gambaran dari percakapan di atas adalah mereka mau menghargai kita dan tidak sombong, tetapi pengetahuan mereka tentang penyakit termasuk kurang, jadi kita harus memberikan penjelasan lebih lanjut agar mereka mengerti. (Jujur saya lebih senang memeriksa pasien seperti ini karena bisa menambah pengalaman)

Dalam dunia kedokteran, komunikasi adalah hal penting dalam membina hubungan yang baik dengan pasien. Komunikasi dimaksudkan untuk membagi pengetahuan dan pengalaman kepada orang lain. Bahkan di masyratakat kontemporer saat ini ada asumsi "who can run information, they can run the world" atau "Information is power". Terbukti sudah jika manusia sebagai makhluk sosial memerlukan komunikasi sebagai senjatanya untuk masuk ke kalangan tertentu atau menyerap informasi.

Dalam dunia kedokteran, proses komunikasi dengan pasien dapat digambarkan dengan singkatan GATHER, yaitu :
G-greet/ memberi salam kepada pasien dengan bersahabat
A-ask/ tanyakan kepada pasien mengenai keluhan dan penyakitnya
T-tell/ berikan informasi kepada pasien mengenai penyakitnya
H-help/ bantu pasien dalam memilih pengobatan yang terbaik
E-explain/ jelaskan bagaimana metode pengobatan tersebut hingga pasien mengerti, dan
R-return/ meminta pasien kembali untuk follow-up

Komunikasi di rumah sakit harus didasarkan dengan rasa profesionalitas dan empati. Empati sendiri diartikan sebagai mengerti dan peduli kepada kesulitan yang dialami orang lain (dalam hal ini adalah pasien). Suatu komunikasi yang baik kepada pasien merupakan basis dari yang kita sebut medical ethics dan pusat dari pelatihan kedokteran saat ini.

Sejujurnya, saya sendiri saat menjalani proses kepanitraan itu tidak mengerti dengan jelas apa itu empati, cenderung menyepelekan malah. Hari itu semua berubah, saat itu saya sedang menjalani kepanitraan di bagian THT dan mendadak merasakan nyeri di perut kanan bawah saya, saking nyerinya saya sampai pucat dan kehilangan kesadaran (malu sebenernya cerita ini). teman-teman saya pun kemudian panik dan langsung menggotong saya ke IGD dan diperiksa oleh dokter jaga IGD. Saya pun didiagnosis sebagai Appendicitis acuta dan dirawat di bangsal kelas 2b. Saya pun kemudian dirawat tim oleh dokter spesialis bedah dan spesialis penyakit dalam untuk diobservasi terlebih dahulu karena appendicitisnya belum begitu berat.

Pagi hari di kemudian hari, Dokter spesialis penyakit dalam melakukan visite keliling membawa junior-junior yang baru masuk ke stase penyakit dalam untuk melakukan follow-up. Jujur saja, sekarang saya mengerti lho nasib patung pajangan di museum yang tidak bisa bergerak apalagi berbicara dan sekarang saya sedang mengalaminya. (pernah nonton Scrubs? J.D juga menggambarkan bagaimana rasanya jadi pasien di sana, hihihi)

Dokter spesialis penyakit dalam ini kita sebut saja Diana (bukan nama sebenarnya ya), beliau sangat perhatian kepada semua pasiennya dan tidak pernah bosan visite hingga malam hari. Beliau biasanya datang jam 4-5 pagi dan baru pulang sekitar jam 9 malam. Sangat pintar dalam membina hubungan dengan pasiennya dan berkomunikasi. Saya pun merasa aman, dan tenang ditangani oleh beliau.

Sebaliknya, dokter spesialis bedah yang menangani saya, kita sebut saja dr.Tio adalah seorang yang cukup berumur dan hanya tidak menjelaskan kepada pasien dengan jelas mengenai penyakitnya. Jika dibuat survey di rumah sakit, mungkin 8 dari 10 merasa tidak puas dengan penjelasannya dan 2 sisanya tidak mengerti. Dalam perasaan beliau yang ada mungkin hanya kata "operasi". Tapi untungnya memang selalu ada indikasi, dan mungkin inilah yang disebut kurang berempati.

Hari operasi pun semakin dekat, perasaan dag-dig-dug-duer-duer memenuhi perasaan saya, karena takut dan khawatir. Apalagi, dr. Tio datang dan berkata bahwa operasi saya akan ditangani oleh residen bedahnya untuk menambah pengalaman. Saya mau tidak mau menjawab "iya" karena tidak mendapatkan penjelasan jelas dan tidak berani melawan. Tapi malam hari sebelum operasi semuanya berubah, saat dr. Tio dan residennya melakukan visite, saya pun berteriak, begini :

"DOK!!!!TOLONG, DOK, SAYA MAU SAMA DOKTER AJA DIOPERASINYA!!!!", Oke ga selebay itu tetapi memang saya sedikit berteriak. (terutama dalam hati)

Dr. Tio dan residennya pun kemudian memandangi saya dengan heran, dan rasanya seperti di meja introgasi polisi.

"Oke, Gak masalah ko...kamu takut ya?," Kata dr.Tio
"Eh...Eumm...anu, Dok," jawabku malu
"Gak apa-apa, pasien berhak memilih siapa dokter pelaksananya ko, itu hak pasien, " jawabnya
"Wajar ko kalau kamu takut," sambung beliau menenangkan hati
"Eh, iya, Dok, makasih.."
"Oke, sampe ketemu besok di ruang operasi ya, " kata beliau sambil tersenyum

Hal yang paling tidak bisa saya lupakan adalah bagaimana residen itu memandang saya dengan perasaan kesal. mungkin menurutnya dia sudah menunggu-nunggu untuk mencari pengalaman tetapi pasiennya menolak. Mungkin itulah yang disebut tidak berempati, tidak peduli dengan keinginan pasien tetapi lebih memikirkan pengalaman yang ingin didapatkan.

Hari operasi pun tiba. Dr. Tio menjadi dokter penanggung jawab operasi saya dan luar biasa, di sana dr.Tio begitu perhatian pada saya baik sebelum, saat (anestesi lokal-red, jadi saya sadar), dan sesudah operasi. Para perawat ruang operasi (OK) juga bilang bahwa dr. Tio adalah tipe dokter yang perhatian pada pasiennya. Ternyata beliau selama ini hanya menjelaskan sedikit karena pasien beliau sangat banyak baik di rumah sakit ini dan rumah sakit lain dan tidak ingin melewatkan satu pasien pun.

Dari pengalaman itu, akhirnya saya mengerti apa itu yang namanya komunikasi yang bagus dan empati kepada pasien. Sejak saat itu pun saya mulai belajar dengan baik apa yang namanya empati dan hubungan pasien dengan dokter, karena para pembaca, itulah yang membantu kita dalam bekerja.

PS : Pasien juga adalah manusia, mereka bisa takut atau khawatir akan tindakan yang akan kita lakukan baik setelah mendengar penjelasan dengan jelas atau tidak. Tugas kitalah yang seharusnya menenangkannya dan memberi dukungan kepadanya agar menjadi kuat.

"Whoever the patient, is our duty to give the best to them"

Kiranya itu kisah dan pengalaman saya di rumah sakit, jadi bagaimana cerita kalian? Jangan lupa untuk mengirimkannya ke phemaw.adit@gmail.com agar bisa dipublikasikan ke dalam blog ini dan kita dapat saling berbagi cerita. Thanks buat phemaw yang sudah menyediakan tempat untuk bercerita ini, dan semoga blog ini sukses. Sampai jumpa lagi dicerita selanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar