Kamis, 08 Juli 2010

...How I Meet U, and How We Love Each Other...

Kiriman dari seorang senior, kisah yang cukup bagus untuk disimak.
(Beliau tidak menyebutkan nama dan mengirim karena mendengar adanya blog ini dari keponakannya)

Selama kita semua hidup di dunia ini, pernahkah kita terpikir, apa itu “cinta”, apa itu “kebahagiaan”, apa itu “ kesalahan”, dan apa itu “penyesalan”. Bagi orang2 awam yg tidak mengerti, kata-kata ini tidaklah lebih dari bentuk dari suka duka hidup di dunia. Tapi sebenarnya semua kata2 ini akan membawa kita menuju kehidupan yg lebih baik, tergantung bagaimana persepsi kita akan keempat kata di atas.

CINTA disebutkan sebagai hal yang membawa kebahagiaan, dielu-elukan sebagai suatu hal suci yang menghubungkan dua insan ciptaan Tuhan. Tapi bagaimana jika cinta itu hanya sebelah pihak, hanya karena paksaan, dan hanya untuk dibanggakan. Apakah kedua makna di atas tetap berarti. Tentu tidak!!! Sebuah cinta hanya akan memiliki makna jika bisa membawa dua hal, yaitu kesempurnaan dan masa depan.

Seorang laki-laki tidaklah bisa hidup tanpa seorang wanita, dan begitu juga sebaliknya. Bohong jika dikatakan “saya bisa hidup sendiri”, “saya tidak butuh siapa-siapa”. Itu semua BOHONG BESAR. Seorang laki-laki membutuhkan wanita untuk disayangi, untuk dilindungi dan untuk memberikannya keturunan. Wanita pun membutuhkan kehadiran laki-laki untuk menyayangi dan melindungi dia dan anaknya kelak. Dalam hubungannya pun keduanya harus dapat menjalankan kewajibannya masing-masing tanpa lepas dari tanggung jawabnya. Setelah semua hal di atas tercapai, barulah kata SEMPURNA dan MASA DEPAN kita dapatkan.

Berdasarkan pemahaman definisi itulah, saya akan memulai cerita mengenai bagaimana saya dan istri saya bertemu, menikah, mempunyai anak dan mencapai kesempurnaan secara lahir dan batin. Semoga pembaca yang muda dapat menyimak dan mengambil makna dari cerita ini.

Pernahkah kalian berpikir akan suatu kata yang disebut SOULMATE? Suatu kata yang yang dalam bahasa Indonesia berarti "belahan jiwa" dan melambangkan pasangan yang saling mencintai hingga akhir hayat menjemput mereka. Buat sebagian orang, menemukan belahan jiwa mereka sama dengan mendapatkan kesempurnaan dan masa depan. Akan tetapi, pernahkan kalian berpikir bagaimana kita bisa bertemu dengan belahan jiwa kita? Apakah semudah gambaran film-film sinetron di televisi yang mempertemukan dua insan dengan hanya saling melirik atau berawal dari perpecahan hingga akhirnya saling cinta? Tentu tidak demikian adanya di dunia ini. Kita tidak akan pernah tahu bagaimana dan kapan soulmate kita akan datang. Inilah permainan Tuhan untuk mempersatukan kita dengan pasangan hidup kita.

Permainan Tuhan inilah yang kemudian mempersatukan jalan saya dan istri saya. Selama masa perkuliahan, saya (panggil saya Bams, dari nama Bambang) dan Istri saya (sebut saja Nina, karena mempermudah cerita), tidak pernah bertegur kata. Nina adalah anak keturunan dokter bedah terkemuka dengan paras ayu dan tinggi semampai (bahkan dia mendapat gelar miss campus saat itu). Saat itu, semua laki-laki, baik senior maupun teman seangkatan kami selalu berusaha mencari celah di hatinya untuk masuk. Sedangkan saya hanyalah seorang kutu buku yang lahir dari keluarga dokter biasa. Ayah saya membuka klinik kecil-kecilan di tengah kota, semasa mudanya, beliau adalah anak yang terkenal Jenius di angkatannya, hanya sayang karena keterbatasan biaya, beliau tidak bisa untuk mencapai ke jenjang spesialisasi. Berawal dari cerita dia atas, Beliau ingin menjadikan saya seorang dokter yang sukses dan bisa mencapai jenjang spesialisasi (jujur saja, dokter favorit saya sampe saat ini tidak lain dan tidak bukan adalah beliau).

Dari cerita di atas, pasti para pembaca akan berpikir, bagaimana seorang miss kampus yang populer bisa menjadi istri seorang kutu buku yang satu-satunya kelebihan dia diantara wanita adalah Invisible To A Girl. Yep, itulah satu-satunya kelebihan saya, entah kenapa tak ada wanita yang akan melirik saya walaupun sudah berdandan mati-matian mengikuti para artis di zaman saya dulu. Di sinilah permainan Tuhan mengambil alih.

Semula berawal dari masa tahun kedua kami di kegiatan ko-assistensi. Saya saat itu sedang berada di stase penyakit dalam, dan dia sedang berada di stase Anak. Sebelumnya, kita berdua sempat stase bareng di mata, tapi sesuai keahlian saya, dia tidak akan ingat pernah bareng dengan saya. Pertemuan kami yang paling berkesan adalah saat minggu ketiganya kami berdua di stase tersebut, terjadi hal konyol yang mempersatukan kami. Saya kebetulan saat sedang mengendarai motor, diserempet oleh sebuah mobil yang sedang melaju dengan kencang, dan sempat tak sadarkan diri karena mengalami perdarahan yang cukup banyak. Nina sendiri mendadak pingsan saat sedang memeriksa pasien, dikarenakan penyakit yang belum diketahui oleh dokter di sana. Di bangsal pasienlah kami bertemu dan dibaringkan diranjang yang bersebelahan (Dia 401 dan gw 402), dan di sana pula kami mengenal pribadi kami satu sama lain. Satu hal yang tidak pernah saya lupa adalah bagaimana senyumannya yang dapat meneduhkan perasaan saya.

Selama kami dibaringkan diranjang masing-masing, kami berbicara berbagai macam hal, dari apa hobby kami, artis atau penyanyi kesukaan, bahkan hingga masalah-masalah pribadi yang hanya kami sendiri yang tahu. Waktu yang kami lalui tidak pernah terasa, waktu seakan berjalan sangat cepat dan tanpa disadari. Jika pada zaman ini, kita sebut itu "Time Warp". Satu hal yang gak pernah saya lupa, adalah waktu Nina bilang begini :

"Makasih banget ya, Bams, mau jadi temen aku buat cerita selama ini."

Yang saya jawab : "Eh, ko tiba-tiba? Emang kenapa, Nin?"

"Ga tau kenapa kalau sama kamu, waktu itu seakan ga kerasa, kaya zeeep aja gitu dalam sekejap, hehehehehe. Kayanya aku tau deh kenapa bisa gini", (Nina sambil tersenyum manis dengan wajah memerah)

"Kenapa memangnya, Nin?", sejujurnya saya hanya berharap dia muji saya, tapi jawaban Nina sungguh tidak terduga.

"Karena aku kayanya udah nemuin belahan jiwa aku, Bams, dan aku seneng banget ma dia.", (wajah memerah)

"HUHHH???SIAPA??SIAPAA?", jelas sekali wajah saya saat itu udh konyol banget karena masih belum sadar maksud Nina.

"Aaduuuh!!!!Kamu ini....ya kamu lah!!!", (wajah Nina merah merona sambil mengeluarkan suara manja)

"Huuuh???Seriiuss, Nin???Aku???", jujur masih ga percaya

"Iyaaaa, Aku suka Kamu, Bams, kalau kamu gimana?", tanya Nina

"Aaaa...akuuu....ju..ju..juga...suka kamu, Nin, Sumpah!!!", Sumpah saat itu perasaan saya udah kaya kepiting rebus.

"Seriuus?bukan kasiaan kan ma aku?", (Nina sambil melirik ke arah saya dengan matanya yang besar)

"Iya, aku serius...Nin, mau ga kamu jadi pacar aku?", (tanyaku tegas)

"Mau...mau...Ehhmmm...jadi sekarang kita pacaran kan?", (Nina balik bertanya)

"Ya, kita pacaran..."

Malam itu, pembicaraan berakhir setelah kedua bibir kamu saling mengecup satu sama lain. (Hal yang cukup gila kami lakuin karena ini di rumah sakit, tapi untung tidak ada pasien selain kami berdua. tapi adik-adik jangan ditiru ya)

Setelah kejadian itu, saya akhirnya resmi pacara ma Nina, di sela-sela kesibukan kami di stase masing-masing, minimal kami pasti bertemu untuk ngobrol sambil makan siang berbagi kangen dengan seorang yang kamu sayangi dari dalam hati kamu. Saat inilah kebahagiaan akan lengkap dengan cinta dan kasih sayang.

Setengah tahun kemudian, kami lulus dokter dan berencana untuk melanjutkan ke jenjang spesialis, dan seperti biasa kami harus bekerja dulu ke luar daerah. Nina di Sumatera tempat sepupunya tinggal dan saya di Sulawesi. Walaupun kami terpisah jauh, tapi hubungan SLJJ masih kami lakukan. Long Distance Relationship klo bahasa kerennya sekarang. Hal yang kami obrolkan seputar kabar, kesehatan, berbagi pengalaman, dan hal-hal lain yang dapat kami bicarakan. Satu tips dari saya, hubungan akan berjalan dengan baik asal ada kepercayaan dari masing-masing pasangan.

Akhirnya 2 tahun kemudian, saya mendapat kesempatan duluan mengambil jenjang spesialis penyakit dalam (kebetulan saat itu peminatnya kurang). Nina yang tadinya ingin spesialis anak mengurungkan niatnya terlebih dahulu karena suatu alasan yang akan saya ceritakan nanti. Satu tahun berselang kegiatan residensi saya di ilmu penyakit dalam, sekarang saya siap meminang Nina menjadi istri saya dan melaju ke arah yang lebih tinggi. Setelah mendapat izin dari kedua orang tua kami, kami pun akhirnya menikah, dengan catatan tidak mempunyai anak terlebih dahulu sebelum saya mempunyai pekerjaan tetap. Hal ini bukan hal yang sulit jika kamu mencintai orang karena perasaan kamu, bukan karena hal lain yang kamu inginkan darinya.

Awal pernikahan tentu awal yang sulit bagi kami berdua. Ada beberapa masalah umum yang terjadi antara suami-istri yang baru menikah. Akan tetapi, hidup kami tidak kurang suatu apa pun. Saya memiliki orang yang ingin saya lindungi dan sayangi sepenuh hati. Nina pun merasa nyaman karena memiliki saya sebagai sosok yang menyayangi dan melindungi dia saat ini. Saat itu kehidupan kami berjalan tanpa kurang suatu apa pun, sampai hal itu terjadi.

Duka pernikahan kami berawal dari saat saya sudah menjadi spesialis ilmu penyakit dalam dan sudah mempunyai pekerjaan tetap di sebuah rumah sakit besar. Nina yang sering sakit-sakitan saya temukan tergeletak pingsan di dalam rumah. Antara panik dan bingung menyerang saya, walau saya sudah menjadi dokter spesialis, saya tak bisa berpikir jernih mengenai penyakit Nina (Inilah alesan mengapa kita tidak boleh memeriksa keluarga kita sendiri). Saat itulah Mertua saya yang kebetulan datang langsung menelpon teman sejawatnya (yang juga guru saya) dan langsung membawa Nina ke Rumah Sakit. Dari semua pemeriksaan yang dilakukan, akhirnya mertua saya membocorkan kepada saya bahwa Nina memang memiliki kelainan Jantung dari kecil, hanya dia meminta untuk merahasiakannya kepada saya (hal ini yang membuat Nina tidak jadi mengambil spesialisasi Anak). Diagnosa penyakit Nina saat ini adalah Left Ventricular Hipertropy, dimana ventrikel sebelah kiri jantung membesar. Satu-satunya harapan dia untuk sembuh hanyalah adanya donor organ yang saat itu masih dipertanyakan izin untuk melakukannya. Kendala lainnya adalah di negara kita ini belum ada yang bisa melakukan tindakan tersebut. Dokter memvonis hidupnya tinggal 1 bulan lagi jika tidak mendapat donor.

Orang tuanya lengah karena menganggap penyakitnya sudah tidak lama kambuh, padahal sebenarnya Nina juga menyembunyikan sakitnya itu kepada mereka. Saat itu tidak ada satu pun hal yang bisa saya lakukan selain berdoa dan berharap keajaiban. Tapi tentu hal itu tidak ada artinya buat Nina, dia hanya bisa berbaring di Rumah Sakit tanpa bia berbuat apa-apa. Dari hal tersebutlah, terbesit niat saya untuk membuat sisa hidupnya menjadi bahagia dengan sebelumnya meminta izin kepada orang tuannya. Nina kemudian saya ajak keluar dari rumah sakit.

Satu hal yang pasti saya lakukan, membuat satu bulan sisa hidupnya bahagia. Saya dan dia kemudian melakukan berbagai macam hal dari pergi ke Disneyland, Singapura, dan berbagai kota yang ingin dia datangi. Semuanya kami foto sebagai kenang-kenangan kami berdua dan bukti bahwa Nina pernah "hidup" dengan bahagia. Tak ada satu pun foto dirinya yang tidak dipenuhi dengan senyum. Seakan ingin berkata :

"Jangan khawatir, saya bahagia."

Akhirnya waktu yang ditentukan pun tiba. Nina menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit yang sejak dia kecil menjadi tempat dia dirawat inap dari penyakitnya. Suasana di sana penuh dengan duka dan isak tangis keluarga saya dan juga dia. tapi ada satu hal yang saya anehkan, saya sama sekali tidak bisa menangis dan mengundang pertanyaan "benarkah saya mencintainya?" dan "jika benar, mengapa saya tidak bisa menangis".

Dua bulan semenjak kematian Nina, saya membereskan barang-barang Nina di rumah karena saya akan pindah ke Jakarta akhir bulan untuk bekerja di rumah sakit di sana untuk menghapus kenangan buruk akan kota tempat saya lahir dan tempat Nina dikuburkan ini. Saat itu, alangkah terkejutnya saya menemukan sebuah buku catatan kecil dari Nina yang berisi rencana-rencana dia di masa depan, seperti ini :

"tanggal 24 Januari 19xx : bersama Bams yang saya cintai mengelilingi Eropa"
"Bulan Desember 19xx : saya positif hamil, Mau memberi kejutan buat Bams."
"Bulan Juli 19xx : memeriksakan kehamilan bersama Bams."
"Bulan Agustus 19xx : anak pertama kami lahi...horeee.", dan seterusnya.

Dari diarinya tersebut, saya akhirnya tau bahwa Nina berjuang keras melawan penyakitnya untuk mewujudkan semua mimpi dan rencana masa depan dia. tanpa sadar saya pun meneteskan air mata, perasaan bahagia dan sedih bercampur aduk. Bahagia karena dia tidak pernah sedikit pun meragukan cinta saya padanya, dan sedih karena orang yang bener-bener saya cintai sudah tidak ada lagi di dunia ini. Malam itu saya menangis keras diiringi hujanyang turun deras seakan ikut menangis bersama saya.

Sekarang saya ada di sebuah Rumah Sakit besar di Kota impian tempat Nina ingin sekali tinggal di sini, dan tentu saja saya masih duda dan akan selalu duda. Buku diari milik Nina selalu saya bawa kemana pun saya pergi. Pasti kalian bertanya kan mengapa saya tetap menduda?semua itu karena belahan jiwa buat saya hanyalah Nina seorang dan kebahagiaan serta masa depan saya juga adalah Nina seorang.

Pesan :
Pada kehidupan nyata, bertemu dengan the one dan soulmate sangatlah susah, oleh karena itu, jika kamu merasa menemukannya, cintai, dan bahagiakanlah dia selagi kita bisa bersama. Karena suratan takdir tidak pernah ada yang tau. Terima kasih.

3 komentar:

  1. T-T terharu.... (dreksap.blogspot.com)

    BalasHapus
  2. so touch T-T... crita saya ga ada apa2nya dibandingkan crita dokter bambang..

    BalasHapus
  3. @dokter indonesia : (T_T) saya juga terharu pas pertama kali dapet drafnya dan juga pas ngeditnya...mirip kaya di UP...salam kenal ya :)

    @Jacky : eh ada si Jacky :p

    BalasHapus