Sabtu, 02 Oktober 2010

Nobody's Perfect

Holla semuanya, sebut saja saya sebagai Banar. Setelah baca beberapa cerita di sini (yang kebetulan masih dikit ya, Boss?), saya juga tertarik berbagi pengalaman saya akan seorang teman saya bernama Joseph (bukan nama sebenarnya-red). Semoga cerita ini bisa bermanfaat bagi kita semua yang membacanya. Enjoy!!! :)

PS : Sebelum memulai cerita ini, ada satu pesan yang ingin para pembaca ingat dan camkan dalam hati, yaitu :

"Kalau kita yakin bahwa ada orang yang akan selalu percaya pada kita, mungkin tidak akan banyak orang yang melakukan kejahatan" (Saya kutip dari salah satu komik favorit saya)

Aku dan Joseph berasal dari sebuah Universitas terkemuka di kota yang saat ini sedang ramai dengan hujan (walau kayanya sekarang lebih cocok buat Bandung dan Jakarta ya,hehe). Saya pertama kali bertemu dengannya adalah saat upacara penerimaan mahasiswa baru (semacam inagurasi). Saya dan dia menjadi perwakilan mahasiswa baru diangkatan kami. Mengapa harus kami? Karena dari gossip yang terdengar, kami berdua memiliki nilai paling bagus saat pelaksanaan ujian masuk dimana dia menduduki peringkat pertama dan saya di peringkat kedua. Selain itu, selama masa OSPEK, kami berdua adalah kadet-kadet yang paling taat dan selalu mengerjakan tugas kami dengan baik sebagai ketua kelompok masing-masing (bukan nyombongin ya, tapi beginilah kata senior kami, haha).

Sebagai perwakilan dari mahasiswa angkatan baru, tentu kami harus saling mengenal satu sama lain, karena mungkin saya atau dia bisa menjadi ketua angkatan dan wakilnya. Jika pusat hancur tentu semua akan berantakan bukan? Setelah berkenalan dengan Joseph, saya pun mengetahui kalau dia adalah anak yang sopan, pintar dan rajin dalam bekerja. Saya rasa tidaklah heran jika dia menjadi ketua angkatan dan saya pun rela menjadi wakil dari ketua yang seperti ini.

Waktu pun berselang, entah kenapa di angkatan kami belum juga tertunjuk ketua angkatan selama 2 Bulan kami masuk. Ada beberapa orang yang mendukung saya dan sisanya mendukung Joseph. Memang sebelumnya saya bilang rela jika Joseph menjadi ketua, akan tetapi, entah kenapa harga diri saya saat itu tidak mengizinkannya untuk kalah begitu saja (mohon maaf karena sebelumnya saya selalu di"atas", jadi sedikit post power syndrome).

Dalam menjalani kehidupan di Fakultas Kedokteran, kami berdua pun saling bersaing satu sama lain untuk menjadi yang terbaik. Dalam bidang Anatomi, Faal, Histologi, Patologi dan Skill Klinik kami sama baiknya dan tak jarang mendapat nilai yang bagus. Entah sejak kapan, hubungan persaingan itu pun berkembang menjadi hubungan yang erat, baik sebagai saingan maupun sebagai sahabat.

Pada suatu hari, saya diundang untuk ke rumahnya, dan ternyata dia tinggal di sebuah mansion besar yang sangat luar biasa membuat mulutku menganga lebar (maklum saya keluarga biasa dan saat itu tinggal di kost-kostan). Di dalam rumahnya yang besar, terpampang beberapa foto hasil lukisan yang terdiri dari dirinya dan keluarganya. Sangat menyenangkan sekali saat itu melihat ekspresi di foto keluarga mereka yang tersenyum lepas tanpa beban dan menggambarkan keluarga yang sangat hangat. Akan tetapi, saat masuk ke ruang tamu, ada satu lukisan yang langsung membuatku heran dan bertanya-tanya. Sebuah foto lukisan ibunya yang besar terpampang di tengah ruang tamu. Parasnya sangat cantik, seorang campuran bangsa Indonesia dan Belanda. Di saat aku sedang mengamati foto itu dengan seksama, Joseph kemudian memulai pembicaraan :

"Kenapa, Nar? Kamu ko kaya heran sih ngeliat foto ibuku?", tanya Joseph
"Eh?Engga...Aku hanya heran saja kenapa foto ini dipajang di ruang tengah tanpa ada foto-foto lain dan ukurannya juga besar sekali ya? Pasti ayahmu sangat mencintai ibumu,hehehe.", jawabku santai.
"Oh, itu memang foto ibuku, tapi saat ini sudah senjadi almarhumah....Jadi kamu jangan heran ya", jawab Joseph diikuti nada yang terlihat sedih.
"Eh, Astagfirullah...aku minta maaf ya nanya sesuatu yang buat kamu ga enak...Turut berduka, kenapa bisa?", tanyaku lagi. (jujur saat itu saya sudah ga enak, tapi masih penasaran)
"Oh, ga apa-apa ko...tapi mending kita ganti topik aja ya...gimana kalau kita main catur, Nar?", jawab Joseph berusaha mengalihkan.
"Oke, siap ya kamu buat kalah lagi!!", jawabku penuh semangat (saat itu saya ga berani tanya lebih jauh, takut buat dia tersinggung)

Malam harinya di kostanku, akhirnya kedatangan tamu yaitu ayah-ibuku yang datang menjenguk dan mengajak makan di luar (sumpah seneng banget, namanya juga derita anak kost). Kami akhirnya memilih salah satu tempat steak terenak di kota ini dan saya pun menceritakan apa saja yang telah saya alami selama ini untuk melepas kangen dengan ayah-ibu saya. Ceritaku berputar mengenai Joseph sahabat karibku itu yang ternyata Ayahnya adalah teman baik ayahku di Jakarta (lucu ya bisa kebetulan begitu). Akan tetapi, di saat itulah saya tahu kenyataan kenapa Joseph tidak mau bercerita tentang ibunya. Ayahku adalah seorang polisi dan ternyata keluarga Joseph berasal dari Jakarta juga (pantas logatnya tampak tidak asing). Saat keluarga Joseph tinggal di Jakarta 1 tahun yang lalu, ibunya meninggal akibat serangan jantung saat diserempet oleh mobil yang menyetir ugal-ugalan di malam hari. Kenapa Joseph tak mau cerita? karena ini semua berhubungan dengan apa yang akan terjadi selanjutnya pada hidupnya selama ini.

Ayah Joseph adalah seorang dokter penyakit dalam terkemuka, setelah insiden yang terjadi pada istrinya, beliau yang tadinya baik berubah menjadi cenderung menutup diri dan sering menyalahkan dirinya sendiri karena tidak bisa menyelamatkan sang Istri. Setelah kejadian itu, ayahnya berpendapat bahwa "Tidaklah cukup seorang dokter kalau tidak saling melengkapi", sehingga Joseph dituntutnya untuk menjadi dokter spesialis bedah jantung (mungkin untuk mengobati rasa bersalahnya). Demi mencapai keinginannya itu, dia bahkan selalu memarahi dan memukuli Joseph jika dia gagal dalam suatu ujian (jangan ditiru ya, Bu, Pak). Sungguh suatu cerita yang tragis mengingat Joseph selalu berusaha tersenyum di depan teman-temannya seakan tidak memiliki beban di pundaknya. Saat itu saya bersumpah apapun yang terjadi, saya akan terus bersahabat dengan Joseph.

Waktu pun berselang, saya dan Joseph akhirnya lulus dari masa perkuliahan dan memulai masuk ke jenjang yang lebih tinggi lagi yaitu dunia perKOASSan. Alhamdulillah kami berdua lulus dengan predikat cum laude (klo ga salah tulis). Ini sudah merupakan awal yang baik buat kami berdua untuk menjalani jenjang yang lebih tinggi dan kami pun tak sabar untuk segera masuk.

Ternyata kehidupan di koass sama sekali berbeda dari apa yang kami bayangkan. Di sini dibandingkan kami mendapat ilmu, kami lebih mirip sebagai pembantu untuk dokter senior (ga apa-apa sih sekalian belajar) dan suster. Kepada dokter senior tentu kami tidak protes, tapi pada suster?? Kami dipekerjakan bagai rodi sementara mereka asyik menelpon pacar atau berleha-leha (entah mau balas dendam atau memang sudah tradisi dari dulu). Kehidupan di sini pun jauh lebih menyeramkan daripada yang kami bayangkan. Terkadang teori tidak selalu sesuai dengan praktek. Saya pun entah sudah beberapa kali berteriak dalam hati saat melakukan tindakan.

Diantara kami semua, hanya satu orang yang bisa melaksanakan semua hal di atas dengan baik dan tetap tersenyum. Dia adalah Joseph. Dokter-dokter menyukainya karena selain pintar, dia bekerja dengan logika dan cepat tanggap akan sesuatu. Hubungan dengan suster pun sangat baik (lagipula sebagai laki-laki dia terhitung berwajah tampan). Mungkin hampir tidak ada masalah apabila kamu satu bagian dengannya sekalipun ada masalah, semuanya dapat ia atasi dengan baik.

Dua bulan pun berselang, hari inilah hari dimana inti cerita ini berada. Kami (saya dan Joseph) secara kebetulan berada dalam bagian Obstetri dan Ginekologi. Selama kami berdua berduet, tidak pernah ada masalah yang terjadi di bagian ini. Saya dan Joseph pun mendapat perhatian dari para konsulen. Akan tetapi, kami tidak sadar bahwa ada senior-senior dan teman-teman yang iri akan keberhasilan kami.

Seorang pasien dengan PEB (Preeklamsia berat, dimana ibu hamil menderita tekanan darah tinggi saat kehamilan dan harus diobservasi ketat karena berbahaya bagi ibu dan janin). dipegang oleh Joseph sejak 2 hari yang lalu. Joseph tidak pernah luput untuk mengobservasi pasien ini karena dia tahu akan bahayanya. Akan tetapi, malam itu, malam dimana Joseph sedang tidak jaga malam, dia pun mengoperkan status pasiennya kepada seorang senior yang menurut dia bisa ia percaya dan meninggalkannya dengan harapan tidak ada apa-apa hingga besok pagi dia datang. Masalah akhirnya timbul saat malam hari, dimana Sang Senior pergi makan keluar Rumah Sakit dan pasien yang bersangkutan mengalami Eklamsia (bentuk yang lebih berat dimana pasien kejang-kejang dan harus segera ditangani) hingga akhirnya tidak berhasil ditangani karena terlambat penanganan dan rujukan ke konsulen. Pasien pun kemudian akhirnya meninggal dunia beserta bayi yang dikandungnya. Pihak keluarga pun menuntut ke Rumah Sakit dan mau membawa ke pengadilan.

Perlu saya tekankan bahwa perkumpulan dokter adalah suatu hal yang cukup menakutkan. Sekali kita terperangkap masuk di dalamnya, tidak ada hal lain yang bisa kita lakukan. Apabila ada seseorang bilang "hitam" maka "hitam"lah yang akan dilakukan. Sungguh mengerikan jika kita sudah tercap "hitam" di organisasi tersebut.

Satu hari setelah kejadian, terjadilah rapat besar di bagian kami untuk membicarakan kronologis bagaimana cerita ini berlanjut. Satu hal yang luput dari kami adalah, senior yang Joseph titipi ternyata memiliki dendam pribadi kepada Joseph dan berusaha memfitnahnya. Saat konsulen kami menanyakan kejadiannya, entah kenapa semua orang yang berniat jahat pada Joseph dapat berkumpul secepat itu dan memfitnahnya sebagai pelaku kasus ini. Joseph tentu tidak terima karena saat itu dia sedang jaga malam, akan tetapi, entah kenapa nama orang yang jaga malam di hari itu berubah menjadi namanya dan bukan nama sang Senior. Konsulen pun mulai tampak marah melihat Joseph berusaha membela dirinya. Hal yang kemudian terjadilah yang membuat saya malu sampai sekarang dan bahkan tidak bisa memaafkan diri saya sendiri. Sebagai pembelaan terakhir, Joseph berkata pada semua bahwa dia malam itu memang tidak jaga dan sedang belajar bersama di rumah saya. Saat itu semua mata tertuju pada saya, mengharapkan jawaban sambil melihat saya dengan tatapan seakan pemburu hendak menerkam mangsanya. Dan coba kalian tebak, saya bilang bahwa itu TIDAK BENAR!!!. Saya pun melihat betapa kecewanya Joseph dengan jawaban saya itu.

Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan saya bisa membela Joseph dan tidak membelanya. Akan tetapi, ketakutan saya akan dikucilkan dari organisasi dan merusak masa depan hidup saya mengalahkan segalanya. Bagi seseorang yang membantu orang yang dikucilkan oleh masyarakatnya, hanya ada satu pilihan, yaitu jatuh ke jurang yang sama. Karena tindakanku inilah akhirnya Joseph dikeluarkan dan dikucilkan dari dunia kedokteran oleh komunitas. Tidak lama setelah peristiwa itu, Joseph pun entah pindah entah kemana dan tidak pernah terdengar kabarnya lagi.

Inilah mengapa judulnya ada "tidak ada orang yang sempurna". Sebagaimana pun manusia berusaha untuk menjadi perfect, tetap saja pada akhirnya akan ada belang di tubuhnya. Mungkin kita semua tidak menyadarinya karena kita sendiri yang berperan sebagai pelakunya, tapi cobalah mulai sekarang menginstrospeksi diri kita sembelum belang kita terlihat oleh orang lain.

NB : Jika Joseph membaca tulisan ini, saya sangat ingin meminta maaf sebesar-besarnya pada dirinya. Saat ini saya hanya bisa berharap dan berdoa yang terbaik untuk Joseph dimanapun dan apapun yang dia sedang lakukan sekarang.

Dari Seseorang Yang Masih Ingin Menjadi Sahabatmu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar